0878 3846 3313

Diantara perlakuan baik yang dilakukan orang tua kepada anaknya adalah dengan cara menyelenggarakan ibadah aqiqah untuknya. Tapi kenyataannya, tidak semua orang tua mampu menyembelihkan hewan aqiqah untuk anaknya tepat setelah kelahirannya atau tujuh hari setelahnya. Yang paling sering menjadi kendala terselenggaranya ibadah ini ialah faktor ekonomi. Maka pertanyaan selanjutnya adalah, haruskah aqiqah dilaksanakan pada hari ke-7 atau boleh dilaksanakan di luar hari itu?

Dalam masalah waktu pelaksanaannya, ulama berbeda pendapat. Ada yang mengharuskan hari ke-7 bersamaan dengan pemberian nama. Ada juga yang membolehkannya hingga masa nifas ibunya selesai. Namun ada juga yang melonggoggarkannya sampai si anak menjelang masuk usia balignya, bahkan ada juga yang membolehkannya sampai kapan pun sampai orang tua benar-benar mampu.

Berikut ini penjelasan para ulama beserta dalil yang menguatkannya.

Kapan boleh dimulai aqiqah?

Secara umum, jumhur ulama berpendapat bahwa waktu di-sunnahkannya penyembelihan hewan aqiqah pada hari ke-7. Akan tetapi mereka berberda pendapat tentang hari kebolehan diluar sunnah.

Namun, Syafiiyah dan Hanabilah membolehkan pelaksanaan aqiqah tepat setelah bayi dilahirkan dan tidak harus menunggu sampai hari ke-7. Tapi mereka tidak membolehkan sebelum bayi dilahirkan. Maka, jika penyembelihan dilakukan sebelum kelahiran bayi, dianggap sebagai sembelihan biasa dan bukan aqiqah. Hal ini didasari atas suatu sebab yaitu kelahiran. Maka jika bayi sudah terlahir aqiqah boleh dilaksanakan.

Sedangkan Hanafiyah dan Malikiyah baru membolehkan pelaksanaan aqiqah pada hari ke-7 pasca kelahiran. Dan aqiqah tidak sah (dianggap sembelihan biasa) jika dilaksanakan sebelumnya.

Sebagian ulama menghitung hari kelahiran hanya pada siangnya saja. Maka jika ada anak yang lahir selepas magrib, maka satu harinya dihitung mulai besok pagi.

Kapan waktu aqiqah berlalu?

1.Hari ke-7

Kalangan Malikiyah berpendapat bahwa waktu aqiqah hanya sampai hari ke-7 pasca kelahiran. Jika hari ke-7 sudah berlalu maka ibadah aqiqah sudah tidak lagi berlaku.

2.Sampai anak usia baligh

Sedangkan Syafi’iyah, mereka membolehkan bagi orang tua melasanakan aqiqah anaknya hingga dia masuk usia baligh. Ini yang mustahabb. Maka ketika telah masuk usia baligh, orang tua tidak lagi terbebani ibadah ini. Akan tetapi anak itulah yang akan melaksanakan aqiqahnya sendiri jika mampu. Demikian yang diriwayatkan dalam sebuah hadits, bahwa Rasulallah meng-aqiqahi dirinya sendiri ketika beliau sudah menjadi nabi.

Al-Imam an-Nawawi di dalam kitabnya Syarhu al-Muhadzab, mengatakan jika hadits tentang aqiqahnya Nabi untuk dirinya sendiri itu merupakan hadits bathil.

3.Sampai selesai masa nifas ibunya

4.Anak boleh mengaqiqahi dirinya sendirikapan pun

Namun demikian, ada ulama yang membolehkan bagi anak untuk meng-aqiqahi dirinya sendiri jika mampu dengan keumuman hadits,

كُلُّ غُلَامٍ مُرْتَهَنٌ بِعَقِيقَتِهِ، تُذْبَحُ عَنْهُ يَوْمَ السَّابِعِ، وَيُحْلَقُ رَأْسُهُ، وَيُسَمَّى

Artinya: “Setiap anak tergadai dengan aqiqahnya, maka disembelihkan hewan untuknya pada hari ke-7, dicukur rambutnya, dan diberi nama” (HR.Ibn Majah)

Kata tergadai (مُرْتَهَنٌ) berarti harus dilaksanakan dan ditunaikan kapan pun dan oleh siapapun. Jika masih hari ke-7 atau sebelum baligh, maka menjadi tanggungan orang tua. Namun jika sudah lewat, maka boleh dilaksanakan oleh siapapun temasuk oleh anak itu sendiri, jika dia mampu. Kata ‘boleh’ dalam hal ini bukan berati sunnah.

 

%d bloggers like this: